Masalah konflik rumah tangga. Setelah menikah, ternyata pasangan masih bersikap bak “Anak Mama”, bersikeras tinggal seatap dengan orangtuanya, bahkan tak mandiri soal finansial. Alhasil, pernikahan seakan berada di bawah bayang-bayang mertua.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Ada anggapan, sejak kecil anak laki-laki cenderung lebih dekat pada ibu ketimbang ayah, terlebih pada anak tunggal atau anak bontot yang dinanti-nanti.
Namun hal ini tidaklah mutlak. Hal itu terjadi karena dorongan naluriah anak laki-laki untuk melindungi ibunya. Selain itu juga karena secara emosi banyak ayah yang lebih “keras” terhadap anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Konon, kedekatan si Buyung dan ibunya akan terus terjalin bahkan hingga mereka dewasa dan berkeluarga. Kedekatan yang sama juga bisa terjadi pada anak perempuan.
Hal ini wajar, sebab sebelum menikah anak merasa memiliki hubungan dekat dengan orangtua dan tidak ingin kehilangan kedekatan tersebut. Begitupun sebaliknya.
Hanya saja, bagaimana anak dan orangtua harus belajar mengelola hubungan yang dahulu dengan realita bahwa sekarang ada menantu. Giliran orangtua belajar menghargai menantu dan sebaliknya.
Hubungan ini sebaiknya mulai dijajaki saat anak belum menikah. Maksudnya, calon menantu dapat mengenal bagaimana sifat orangtua dan pasangannya.
Apa dampak negatif dari situasi ini ? Sangat mungkin timbul masalah.
Misalnya, kurang mandiri secara finansial, masih “manja” ke orangtua, masih tinggal seatap dengan ibu, kurang bisa mengambil keputusan, selalu minta pendapat ibu bahkan sampai memberi kewenangan mengasuh anaknya pada ibu.
Berbagai persoalan tersebut muncul ke permukaan karena ada batas-batas tanggung jawab yang dilewati.
Yaitu ketika laki-laki kurang bertanggung jawab sebagai suami atau kepala keluarga. Atau orangtua yang kurang merelakan anaknya tumbuh lebih dewasa sebagai suami.
Anak laki-laki harus sadar ia telah menjadi kepala keluarga yang harus rela melepaskan ketergantungannya pada sang ibu. Demikian pula sebaliknya.
Bukan berarti hubungan menjadi renggang, namun lebih memberikan ruang untuk anak lelaki lebih dewasa.
Masalah lain, istri merasa kurang nyaman karena suami masih tergantung pada orang tuanya, kurang nyaman tinggal di “Pondok Mertua Indah”, merasa dinomorduakan oleh suami, suami lebih nurut ke ibunya, mertua ikut campur urusan rumah tangga, bahkan mertua seolah cemburu dengan menantu perempuannya.
Intinya, dari persoalan yang ringan sampai berat, semua masih ada keterlibatan pihak ketiga, yaitu ibu mertua.
Bila itu yang terjadi, sang istri sebaiknya mengungkapkan perasaannya secara baik-baik. Sampaikan juga harapan-harapannya pada suami terkait hubungannya dengan ibunya.
Di sisi lain, istri dapat belajar merendahkan hati dan objektif jika memang pendapat mertua ternyata lebih baik dari pendapatnya.
Sementara, jika suami melihat pendapat ibunya lebih baik, ia perlu belajar bagaimana cara meyakinkn istri tanpa menyinggungnya.
Suami juga sebaiknya menghindari kata-kata seperti “ Kata Mama harus begini…” Hal itu tentu akan melukai hati sang istri.
Pada prinsipnya, relasi pernikahan itu di atas relasi antara orang tua dan anak. Namun, bukan berarti meniadakan hubungan orangtua dan anak.
Kuncinya, komunikasi yang terjalin antara suami dan istri. Ada kalanya anak harus berani bersikap tegas pada orang tua, ada kalanya suami bersikap tegas pada istri.
Selain komunikasi, penting juga untuk saling menghargai. Mertua dapat menghargai menantunya dengan melihat hal-hal positif pada diri menantu dan tidak hanya fokus pada hal negatifnya saja.
Suami/anak laki-laki dapat belajar menjadi mediator antara ibu dengan istrinya. Suami juga perlu belajar secara bijak menceritakan hal-hal yang mungkin diungkapkan sang ibu mengenai istrinya. Begitu juga sebaliknya.
Tapi, tidak semua hal perlu diceritakan, terutama hal-hal yang dapat mempertajam konflik. Kecuali hal itu terkait masalah yang penting. Ungkapkan secara bijak.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Ada anggapan, sejak kecil anak laki-laki cenderung lebih dekat pada ibu ketimbang ayah, terlebih pada anak tunggal atau anak bontot yang dinanti-nanti.
Namun hal ini tidaklah mutlak. Hal itu terjadi karena dorongan naluriah anak laki-laki untuk melindungi ibunya. Selain itu juga karena secara emosi banyak ayah yang lebih “keras” terhadap anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Merasa tak mau kehilangan
Konon, kedekatan si Buyung dan ibunya akan terus terjalin bahkan hingga mereka dewasa dan berkeluarga. Kedekatan yang sama juga bisa terjadi pada anak perempuan.
Hal ini wajar, sebab sebelum menikah anak merasa memiliki hubungan dekat dengan orangtua dan tidak ingin kehilangan kedekatan tersebut. Begitupun sebaliknya.
Hanya saja, bagaimana anak dan orangtua harus belajar mengelola hubungan yang dahulu dengan realita bahwa sekarang ada menantu. Giliran orangtua belajar menghargai menantu dan sebaliknya.
Hubungan ini sebaiknya mulai dijajaki saat anak belum menikah. Maksudnya, calon menantu dapat mengenal bagaimana sifat orangtua dan pasangannya.
Lepas Ketergantungan
Apa dampak negatif dari situasi ini ? Sangat mungkin timbul masalah.
Misalnya, kurang mandiri secara finansial, masih “manja” ke orangtua, masih tinggal seatap dengan ibu, kurang bisa mengambil keputusan, selalu minta pendapat ibu bahkan sampai memberi kewenangan mengasuh anaknya pada ibu.
Berbagai persoalan tersebut muncul ke permukaan karena ada batas-batas tanggung jawab yang dilewati.
Yaitu ketika laki-laki kurang bertanggung jawab sebagai suami atau kepala keluarga. Atau orangtua yang kurang merelakan anaknya tumbuh lebih dewasa sebagai suami.
Anak laki-laki harus sadar ia telah menjadi kepala keluarga yang harus rela melepaskan ketergantungannya pada sang ibu. Demikian pula sebaliknya.
Bukan berarti hubungan menjadi renggang, namun lebih memberikan ruang untuk anak lelaki lebih dewasa.
Similar pos : 10 Penyebab Romantisme Pasangan Jadi Redup
Masalah Konflik Rumah Tangga dengan Mertua
Masalah lain, istri merasa kurang nyaman karena suami masih tergantung pada orang tuanya, kurang nyaman tinggal di “Pondok Mertua Indah”, merasa dinomorduakan oleh suami, suami lebih nurut ke ibunya, mertua ikut campur urusan rumah tangga, bahkan mertua seolah cemburu dengan menantu perempuannya.
Intinya, dari persoalan yang ringan sampai berat, semua masih ada keterlibatan pihak ketiga, yaitu ibu mertua.
Bila itu yang terjadi, sang istri sebaiknya mengungkapkan perasaannya secara baik-baik. Sampaikan juga harapan-harapannya pada suami terkait hubungannya dengan ibunya.
Di sisi lain, istri dapat belajar merendahkan hati dan objektif jika memang pendapat mertua ternyata lebih baik dari pendapatnya.
Sementara, jika suami melihat pendapat ibunya lebih baik, ia perlu belajar bagaimana cara meyakinkn istri tanpa menyinggungnya.
Suami juga sebaiknya menghindari kata-kata seperti “ Kata Mama harus begini…” Hal itu tentu akan melukai hati sang istri.
Menjalin Komunikasi
Pada prinsipnya, relasi pernikahan itu di atas relasi antara orang tua dan anak. Namun, bukan berarti meniadakan hubungan orangtua dan anak.
Kuncinya, komunikasi yang terjalin antara suami dan istri. Ada kalanya anak harus berani bersikap tegas pada orang tua, ada kalanya suami bersikap tegas pada istri.
Selain komunikasi, penting juga untuk saling menghargai. Mertua dapat menghargai menantunya dengan melihat hal-hal positif pada diri menantu dan tidak hanya fokus pada hal negatifnya saja.
Suami/anak laki-laki dapat belajar menjadi mediator antara ibu dengan istrinya. Suami juga perlu belajar secara bijak menceritakan hal-hal yang mungkin diungkapkan sang ibu mengenai istrinya. Begitu juga sebaliknya.
Tapi, tidak semua hal perlu diceritakan, terutama hal-hal yang dapat mempertajam konflik. Kecuali hal itu terkait masalah yang penting. Ungkapkan secara bijak.
0 komentar
mau komen? klik aja!
EmoticonEmoticon